Nama Desa Mejasem tidak lepas dari nama dua orang prajurit kerajaan Mataram yang
dikejar-kejar oleh Belanda dan melarikan diri ke daerah Pekalongan. Mereka adalah
Raden Wirodanu dan Pangeran Pekik, dimana dalam pelarian mereka sampai pada suatu
tempat dan menemukan sebuah gentong besar berwarna ungu. Gentong tersebut ternyata
berisi jin Parilodro, yang akhirnya dikalahkan dalam pertarungan dahsyat. Tempat
pertarungan tersebut dinamakan Dukuh Gentong Wungu di wilayah Kecamatan Sragi.
Setelah itu, keduanya melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan Putri Rantan Sari
yang jatuh cinta pada Raden Wirodanu, namun cintanya ditolak. Penolakan tersebut
menyebabkan Putri Rantan Sari melakukan ritual topo kungkum (bertapa sambil
berendam) di Sungai Brancah. Tempat pertemuan ini kini dikenal dengan nama Dukuh
Gembyang, dan menjadi mitos yang mempercayai bahwa laki-laki yang melewati sungai
ini akan terpesona oleh wanita cantik.
Pada zaman kolonial Belanda, desa ini terbagi menjadi Mejasem Lor dan Mejasem Kidul,
dan setelah penggabungan keduanya pada tahun 1920, diadakan pemilihan lurah pertama
yang dimenangkan oleh Kasmali. Setelah masa kemerdekaan, terjadi perubahan
kepemimpinan yang ditandai dengan pembangunan berbagai infrastruktur desa.
Desa Mejasem terus berkembang dengan kepemimpinan yang silih berganti, termasuk
diantaranya pembangunan infrastruktur seperti bendungan Mejasem, balai desa, dan
jalan poros desa. Saat ini, Kepala Desa Mejasem adalah Sudarto S.E, yang melanjutkan
pembangunan dan pengembangan desa untuk kesejahteraan masyarakat.
